Penulis : Kasman Renyaan, S.Pd., M.Pd
(Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UBN)
Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir adalah Tokoh Pejuang Kemerdekaan Indonesia yang pernah di buang Belanda di Boven Digul Papua pada 1935 kemudian dipindahkan ke Tanah Banda pada 1936 hingga 1942. Tidak seperti di Boven Digul kedua tokoh pejuang itu, tak bisa berbuat banyak karena terserang malaria. Di Tanah Banda, keduanya memiliki semangat juang, merasa bebas dan merdeka secara pisikologis.
Tanah Banda sungguh mengagumkan, lingkungan alamnya asri dan damai. Hatta dan Sjahrir merasa seperti tak dibuang, namun sedang menemukan surga yang tersembunyi. Di sini tuan-tuan itu bebas berintraksi dengan masyarakat, sehingga menaruh perhatian besar terhadap persoalan pendidikan, utamanya pendidikan kepada anak-anak negeri, tempat dimana mereka berada.
Meski ditengah pegawasan Belanda, Bung Hatta dan Sjahrir memiliki tekat kuat untuk tetap menularkan kesadaran pentingnya pendidikan sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan. Pasalnya dengan menularkan pendidikan berkualitas, anak-anak Banda dapat menyadari sepenuhnya bahwa negeri ini sedang dijarah dan dijajah, sehingga perlu kebebasan dan kemerdekaan hakiki.
Atas dasar itulah, Hatta dan Sjahrir berinisiatif membuka sekolah dan memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak Banda. Sekolah yang dikenal dengan nama “Sekolah Sore” itu, berlangsung saat Sore hari dengan memamfaatkan teras belakang rumah Bung Hatta, sebagai ruang kelasnya. Proses pembelajaran berlangsung sangat sederhana. Tujuh buah meja lengkap dengan kursinya menjadikan anak murid bisa membaca dan menulis dengan baik, merasa santai dan merdeka. Des Alwi, kelak sebagai tokoh Sentral Banda, menjadi salah satu murid di sekolah itu.
Bung Hatta yang memiliki sikap disiplin tinggi, selalu memulai pembelajaran dengan tepat waktu. Sikap disiplin, selalu ditanamkan Om Kaca Mata (sapaan Hatta) kepada anak muridnya. Nilai sopan santun juga ditanamkan kepada anak murid. Menghargai dan menghormati guru wajib hukumnya saat menimbah ilmu.
Tentu situasi itu, jauh berbeda dengan kondisi pendidikan saat ini. Dimana masih banyak guru dan murid di sekolah belum memiliki kesadaran menghargai waktu, datang telambat, tidak tepat waktu saat memulai dan mengakhiri proses pembelajaran di kelas.
Hatta dan Sjahrir yang berperan sebagai guru di sekolah itu membagi tugas mengajar. Anak yg lebih besar diajar Hatta dan anak yg kecil diajar Sjahril. Hatta mengajarkan matapelajaran membaca, menulis, aritmatika dan bahasa Jerman.
Semua matapelajaran itu, disampaikan Hatta dengan bahasa Belanda. Sementara Sjahrir, mengajar bahasa Belanda dan berhitung untuk murid-murid yang lebih kecil. Khusus soal bahasa asing, keduanya sangat serius memprioritaskan bagi anak Banda, agar mereka dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.
Sekolah Sore, yang dicetuskan guru (bung Hatta dan Sjahrir) belakang menginspirasi murid (Des Alwi) mencetuskan Sekolah Tinggi Hatta Sjahrir Banda Naira sebagai perguruan terkemuka di tanah Banda, yang ke depan Insyah Allah akan menjelma menjadi Universitas Banda Naira.
Hatta dan Sjahrir adalah anugrah terindah bagi orang Banda. Kedua tokoh bangsa itu dalam catatan buku “Tanah Banda” karya M. Farid, dikenang sebagai Ibu Kota Republik Pengetahuan Indonesia. (***)
Catatan : Artikel dipublikasi pertamakali di Media Berita Online Malukunews.co pada Senin, 3 Mei 2021
Posted in Artikel Dosen