Artikel Dosen

Home » Penelitian » Artikel Dosen » Mahasiswa, Belajarlah Dari Hatta!

Rektor ubn - Copy

Mahasiswa, Belajarlah Dari Hatta!

Penulis : Dr. Muhammad Farid, M.Sos

(Prodi Pendidikan Sejarah FKIP UBN)

Kritik mahasiswa terhadap presiden yang viral belakangan ini memicu diskusi hangat jagad maya. Ragam respon bermunculan, sebagian pro terhadap kritik itu, namun tidak sedikit juga yang kontra. Mereka yang kontra menganggap kritik mahasiswa itu harus lebih beradab, dan menyarankan agar gerakan mahasiswa sepatutnya lebih kepada gerakan politik moral dan bukan politik praktis.

Pertanyaannya kemudian, apakah kritik terhadap pemerintah itu tercela? Apakah kritik harus beretika? Apakah gerakan protes mahasiswa terhadap suatu kebijakan termasuk gerakan tak berbudaya dan tak terpelajar? Cobalah sejenak menengok ke belakang. Kepada sejarah tokoh bangsa kita, Mohammad Hatta muda, sang proklamator. Dalam narasi historis, kita tahu bahwa antara buku dan Bung Hatta hampir sulit dipisahkan. Di penjara dia menulis buku. Di pengasingan Digul dan Banda Naira dia bawa serta 16 peti buku. Karena bagi Hatta, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku aku bebas”.

Intelektualisme Hatta sulit ditandingi pada zamannya. Dan buku menjadi peluru pikirannya. Sejak usia remaja dia terbiasa membaca dan menulis. Sederat nama filsuf seperti, Heinrich Heine, Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta Dostojevsky pernah menjadi rujukan artikel Hatta muda. Artikel pertama itu ditulis saat dirinya berusia 18 tahun! Usia yang sangat muda bahkan belum lagi mahasiswa.

Tulisan itu dimuat di majalah Jong Sumatera, sebuah “otobiografis” yang mengisahkan tokoh khayali seorang janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Pada bait-bait awal, Hatta menulis; “Namaku Hindania! Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya.”

Tapi, jangan terburu-buru menilai artikel Hatta itu sebagai roman picisan layaknya drama korea. Hindania adalah personifikasi “Indonesia”. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga “lebih mencintai hartaku daripada diriku” dan “menyia-nyiakan anak-anaku”.

Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik takhta di “negeri maghrib”, yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis.  Artikel “Hindania” itu, menurut saya, adalah satire terbaik di tahun 1920. Saat itu, pemerintah Belanda memang sedang gencar menerapkan kebijakan “politik etis”, bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia Pertama. Jerman dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.

Artikel pendek itu tidak hanya menggambarkan luasnya bacaan Hatta dan minatnya pada sastra, tapi juga menunjukkan keberanian Hatta untuk “melawan” kolonialisme, dengan hanya beramunisikan buku dan bersenjatakan pena.

Bergerak Melawan Di Jantung Kekuasaan

Tapi Hatta bukan murid kutu buku. Saat menjadi mahasiswa, dia justru ikut mewarnai watak Indische Vereeniging, sebuah perkumpulan mahasiswa-pelajar Hindia yang semula lebih bersifat sosial, menjelma menjadi gerakan politik perlawanan.

Hatta dan teman-teman bahkan menjadi kelompok pemuda pertama yang mengintroduksi kata “Indonesia” dalam pengertian geopolitik, dengan mengubah nama dari Indische menjadi Indonesisch Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI). Belakangan, organ ini bertransformasi lebih progresif dengan nama, “Indonesia Merdeka”.

Di majalah Hindia Poetra, artikel-artikel bernas para aktivis mengalir deras. Ditulis dalam berbagai berbahasa; Melayu, Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Hatta sendiri menulis dua artikel di edisi perdananya. Dari dua tulisan itu, Hatta dipuji dunia. Meski tidak sedikit yang meragukan, termasuk para professor nya di Leiden, apakah benar artikel-artikel itu ditulis pemuda-pemuda Indonesia?! Dari corong Hindia Poetra inilah, gagasan kemerdekaan Indonesia menggema ke seantero jagad.

Akibat aktivitas Hatta, dia dijebloskan penjara pada tahun 1927. Tapi Hatta tidak menyerah. Dari kamar sempit penjara, Hatta justru bersemangat menyiapkan pledoi nya yang akan dibacakan di hadapan hakim-hakim Belanda.

Pidato itu berjudul, Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), yang kemudian menjadi salah satu manifesto politik paling monumental dari seorang pribumi. Bagaikan tusukan bambu runcing, pledoi Hatta menghujam tepat ke jantung kekuasaan kolonial.

Pulang ke Indonesia membawa gelar sarjana, Hatta semakin larut dalam kegiatan politik. Bersama Sutan Sjahrir dia aktif dalam organisasi PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) sebuah partai politik yang fokus pada pendidikan politik dan pemberdayaan rakyat terjajah.

Di tengah kesibukannya sebagai aktivis, Hatta tidak berhenti menulis. Di majalah Daulat Ra’jat yang diterbitkan partainya itu, Hatta terus memuntahkan peluru pikirannya terhadap pemerintah kolonial. Akibatnya fatal, dia dibuang ke Papua, lalu ke Banda. Di pengasingan Banda, Hatta tidak tinggal diam. Dia justru mendirikan “sekolah sore” bagi anak-anak pribumi. Bersama Sutan Sjahrir, keduanya mengajarkan aritmatika, sejarah nasional, dan bahasa asing.

Orang Banda lebih mengenal Hatta sebagai “jam berjalan” karena kedisiplinannya, sementara Sjahrir dikenal sebagai “pembela rakyat” karena keakrabannya dengan penduduk setempat. Tapi keduanya sama-sama dikenal sebagai pribadi yang cinta tanah airnya, menolak membungkuk kepada penjajah, dan mendambakan kemerdekaan bangsannya.

Kritik Untuk Merdeka

Tentu saja kondisi hari ini berbeda dengan zaman kolonial. Hari ini tak ada lagi bedil VOC yang dikokang sembarangan ke mulut orang hanya karena kritik. Atau pedang Dai Nippon yang dihunus di batang leher gegara demonstrasi. Karena kita sudah merdeka. Tapi, apakah merdeka? Kata “merdeka” sebenarnya tidak mudah didefenisikan, bahkan oleh Bung Karno sekalipun. Wajar jika Tan Malaka pernah marah besar kepada Bung Karno, dan juga Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim, yang pada suatu malam di tanggal 24 Januari 1946 sedang duduk berdiskusi tentang kebangsaan sambil sesekali tertawa riang karena kemerdekaan yang baru diraih 5 bulan lalu.

Tan mendatangi sambil melontarkan kritiknya kepada keempat kawannya itu; “kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan.… Hari ini aku melihat kemerdekaan hanya milik kaum elit yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka-cita menjadi ambtenaar….kemerdekaan hanya milik kalian, bukan milik rakyat! Dengarlah perlawananku ini, apabila kalian tetap bersikap seperti ini, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai sahabat dan saudara. Esok, adalah hari dimana aku menjelma menjadi musuh kalian!!!”

Setelah Tan menggugat, tak satu kata pun terucap. Suasana hening. Keempat tokoh itu hanya tertegun dan membiarkan Tan Malaka pergi meninggalkan teras rumah Bung Karno yang mendadak berubah suhunya. Bung Karno tiba-tiba memecah kesunyian dan berkata: “Dia sungguh menghinaku, meremehkan semangat kerakyatanku!”

Apa yang dikritik Tan Malaka bukan semata perkara defenisi. Tentu saja orang bisa berbeda-beda mendefenisikan arti merdeka, tapi bukan itu soalnya. Yang penting dari sikap Tan adalah keberaniannya menggugah kesadaran yang nyaris hilang dari jiwa para pejuang. Sebab, kekuasaan dapat berpotensi membius siapapun untuk hidup senang di atas penderitaan banyak orang. Bahkan bisa membuat sang pejuang lupa tujuan, yaitu menyejahterakan rakyat, yang adil dan makmur. Tapi Bung Karno, Bung Hatta, dan kawan-kawan tidak anti kritik. Mereka tidak lantas memenjarakan Tan Malaka yang terang-terangan melawan. Meski di kemudian hari Bung Karno dan Hatta pun harus pecah kongsi. Hatta berbalik mengkritik keras Soekarno yang dianggap menjadi penyebab “pembangunan yang tak berjalan semestinya; kemakmuran rakyat yang jauh dari cita-cita, nilai uang yang jatuh tertimpa;  demokrasi terlantar akibat percekcokan politik sia-sia; dan pelaksanaan otonomi daerah yang berjalan tak tentu arah”, begitu tulis Hatta dalam Demokrasi Kita.

Dari sejarah kita belajar, bahwa bangsa ini didirikan dengan semangat untuk melawan segala bentuk keterjajahan. Dan semangat itu tidak lain dilandasi oleh jiwa merdeka untuk mengkritik dan mengkritik untuk merdeka.

Belajar Dari Hatta

Dari sejarah kita memahami, bagaimana kekuasaan dapat merusak idealism sang tokoh; yang tegas bisa menjadi lemah, yang sederhana bisa menjadi gila kuasa. Juga tentang klaim-klaim negara demokrasi di era orde-lama sampai orde-baru yang faktanya bisa berujung otokrasi, atau setidaknya yang “pura-pura demokrasi” (pseudo-demokrasi). Oleh karenanya, kritik terhadap kekuasaan harus selalu diajukan.

Dari Hatta kita belajar; tentang kesungguhan berilmu; tentang keterbukaan sikap, dan tentang kemandirian dan keyakinan kuat. Hatta adalah figure yang tekun berilmu, terbuka dari kritik, mandiri dalam hidup, dan berkeyakinan kuat. Hatta begitu yakin, bahwa demokrasi dapat ditindas sementara tapi akan insyaf pada waktunya; bahwa bangsa ini meski dijajah ratusan tahun lamanya tapi akan bangkit dan merdeka.  Tapi tentu saja mahasiswa hari ini tidak harus menjadi Hatta; yang membawa buku kemana-mana dalam pembuangannya. Tapi belajarlah dari Hatta, yang berani menolak pembungkaman dan keterjajahan, berani mengambil resiko perjuangan untuk kemandirian bangsanya. Demi tegaknya keadilan social bagi seluruh rakyatnya. Tongkat estafet para pendahulu bangsa harus segera beralih kepada pikiran dan tindakan pemuda hari ini, oleh tangan mahasiswa hari ini. Karena bagi Hatta, “hanya ada satu Negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku”.

Catatan: Tulisan terbit pertamakali di Portal berita Rakyat Merdeka, Selasa, 6 Juli 2021.

Artikel Terbaru

Archives

Kategori